Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 22 November 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Hannibal dari Tanah Melayu (bag. 1)

.. Pergi bersama sejarahnya, kiranya itulah yang terjadi dengan Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' (Upu Tandri Burang Dahing Rilaga) dan kelima puteranya beserta dengan segenap pengikutnya. Kepergiannya meninggalkan "Tana Ugi" (Sulawesi Selatan) seakan melenyapkan diri dari belantara kesejarahan Negeri Tumpah Darahnya. Nama dan kiprahnya tidak tersebut dalam "Lontara" Negeri yang melahirkannya.

Hingga berpuluh tahun atau mungkin berselang seabad setelah wafatnya di  Siantang, perihal beliau beserta dengan anak keturunannya tertulis dengan tinta emas. Lewat pena bulu angsa, seorang cicit dari puteranya menuliskan tariqh perjalanan dan hal ikhwalnya dalam sebuah kitab bertuah, yakni : Tuhfat an Nafis. Lewat suntingan Sastrawan Buya HAMKA dan pengagum kitab itu, maka tulisan kecil ini kususun bagai menjahit selembar "Layar Phinisi" yang bahannya dari serpihan-serpihan kain yang bertebaran..

Abad XVIII, perairan laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan yang ramai dilayari dari seluruh Bangsa Pelaut di seluruh dunia. Pada kurun waktu itu pulalah, armada laut Bugis memainkan peranan penting berkat keluasan jalur maritimnya yang mengatur jalur ekspedisinya ke Matan, Sambas dan Mempawah di Pulau Kalimantan, serta ke Riau, Lingga, Johor, Malaka, Selangor dan Kedah. Jaringan itu semakin diperluasnya hingga membentang kearah utara Laut Cina Selatan hingga perairan Sulu di Filipina Selatan. Para Pelaut Bugis itu bermarkas di Teluk Peninting dan Gunung KutE. Semua itu dicapainya berkat pengaruh kiprah seorang penguasa Selat Malaka pada jamannya, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (kisahnya akan diuraikan dalam judul lain, penulis).

Pada kurun abad iru pulalah, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' yang disertai kelima puteranya dan segenap pengikutnya berlayar ke Pulau Siantang. Kelima puteranya itu masing-masing bernama : Opu Daeng Manambung, Opu Daeng MarEwa, Opu Daeng Cella', Opu Daeng Parani dan Opu Daeng KamasE. Maka merapatlah armada mereka di pelabuhan Siantang dan disambut dengan ramahnya oleh seorang pelaut Bugis terkemuka di kawasan itu, yakni : Kari Abdul Malik yang juga dikenal sebagai Nakhoda Alang. Akhirnya mereka menetap di Siantang dalam waktu beberapa lama.

Penerimaan Nakhoda Alang dalam sebuah jalinan persahabatan yang akrab, membuat Opu DaEng Ri LEkke' berpikir untuk semakin mempererat hubungan itu sebagai hubungan kekeluargaan. Maka beliau melamar puteri Nakhoda Alang untuk dinikahkan dengan salah seorang puteranya, yaitu : Opu DaEng Parani (Opu Dahing Parni, versi Tuhfat An Nafis). Pernikahan itu dikaruniai sepasang putera puteri, yakni : Opu Daeng Kamboja dan Opu Daeng Khatijah.

Pemberian nama cucu Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke'tersebut diuraikan dengan indahnya dalam Kitab Tuhfat an Nafis, sbb ; "Kemudian lalulah Upu Dahing Rilaga itu berbalik ke Siantan serta keci itu. Maka apabila sampai ke Siantan, maka keci itu pun ditutuhlah dibuat penjajab perang. Syahdan, maka tatkala Opu Tandri Burang Dahing Rilaga balik dari Kambuja, maka anaknya Opu Dahin Parni pun sudah beranak seorang laki-laki, maka diberinya nama Dahing Kambuja. Kemudian beranak pula ia akan seorang  anak perempuanbernama Dahing Khatijah. Akhirnya kelak Dahing Kambuja itu menjadi Yang Dipertuan Muda yang Ketiga di dalam Riau, dan Dahing Khatijah itu menjadi isteri Raja Alam, anak Yang Dipertuan Raja Kecik Siak ..".

Hal lain yang menarik pada keterangan dalam suntingan  tersebut diatas, diuraikan bahwa setibanya dari perlawatan di Kamboja, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dan kelima puteranya mulai menyusun kekuatan Maritimnya dengan membangun Perahu Phinisi yang dipersenjatai. Sebuah "Langkah Besar" yang didasari "Ilham" dari mimpi Daeng Manambung, bahwa kelak anak cucu mereka akan menjadi penguasa kerajaan disebelah  Johor dan Riau.

Dalam suasana kebahagiaan mendapatkan cucu serta kesibukan membangun armada Angkatan Laut itu, kodrat Allah berlaku pada setiap mahluk ciptaan-Nya. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke', Pangeran Luwu yang bercita-cita besar itu wafat dan dimakamkan pada sebuah pulau kecil di dekat Pulau Matak dalam wilayah Siantan. Hingga kini, makam Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dikenal sebagai "Keramat Pulau Siantan"(Dr. H. Wahyuddin Hamid, M.S., Passompe' Bugis Makassar, 2005).

Syahdan, kurun permulaan abad XVIII adalah merupakan tahun keemasan VoC di Hindia Timur, namun merupakan masa kelam di Tanah Melayu.  Bermula sejak tahun 1511, ketika Kerajaan Malaka jatuh dalam taklukan Portugis. Setelah itu, maka Kerajaan peninggalan Sultan Mahmud Syah yang merupakan pusat kebudayaan Bangsa Melayu itu silih berganti dikuasai oleh Portugis, Belanda dan Inggris.

Turunnya pamor Kerajaan Malaka menjadikan Kerajaan Riau sebagai kerajaan Melayu lainnya yang masih bertahan, sebagai sebuah Imperium Melayu di abad XVIII. Kekuasaan Kerajaan Riau pada masa itu meliputi Johor, Lingga, Pahang, Terenggano, Indragiri, dan Kampar. Namun kerajaan Melayu satu-satunya itu nyaris padam ditelan sejarah ketika Raja Kecil dari Kesultanan Siak yang mengklaim dirinya sebagai pewaris sah Dinasti Malaka, menyerang Riau, Lingga dan Johor. Baginda Raja Kecil merasa diri lebih berhak menduduki tahta Riau daripada Raja Sulaiman yang berasal dari Dinasti Datuk Bendahara.

Pada masa genting itulah, Raja Sulaiman mengundang Opu Lima (Kelima Putera Alm. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke') dan orang-orang Minangkabau untuk membantunya mengusir Raja Kecil yang menduduki Negeri Riau. Adapun halnya dengan Opu Daeng Parani (Dahing Parni) yang memimpin keempat saudaranya yang lain, melihat bahwa rupanya inilah jalan takdir menuju perwujudan penguasa turun temurun di Kawasan Tanah Melayu, sesuai ilham yang diterima Opu Daeng Manambung.

Maka Opu Daeng Parani bersaudara menghimpun para pelaut Bugis dan Makassar di Selat Malaka, lalu dikerahkan untuk memerangi Raja Kecil beserta pasukannya.Namun salah seorang tokoh Bugis yang merupakan "Pangeran Wajo", yakni : Daeng Matekko (Saudara La Maddukkelleng Arung Singkang Sultan Pasir) tidak bersedia ikut dalam persekutuan itu. Bahkan sebaliknya, beliau beserta pengikutnya memilih bersekutu dengan Raja Kecil untuk melawan Opu Daeng Parani bersaudara. Perihal ini menarik untuk didiskusikan, mengingat banyaknya pendapat yang berbeda mengenai alasan Daeng Matekko yang menolak bersekutu dengan Daeng Parani bersaudara. Suatu hal yang ganjil, mengingat kedua tokoh bangsawan perantau ini sama-sama berasal dari Tanah Bugis (Sempugi) yang semestinya bahu membahu dalam ikatan "PessE" (Solidaritas).

Menurut Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE (Pasompe Bugis Makassar II, hal.36 - Telaga Zamzam, 2005), mengemukakan bahwa : " Ketidakbersediaan Daeng Matekko  bekerjasama dengan Opu Lima Bersaudara mungkin disebabkan oleh dendam lama. Daeng Matekko adalah orang dari Wajo. Kerajaan Wajo pernah bersekutu dengan Gowa menghadapi Kerajaan Bugis dari Bone dan Luwu yang bersekutu dengan Belanda..". Hal yang masuk akal, mengingat penyebab kepergian Daeng Matekko meninggalkan Tana Wajo disebabkan karena dimurkai oleh Raja Bone. Dugaan lainnya yakni menurut penulis, bahwa bisa juga justru lebih merupakan sentimen pribadi antara masing-masing kedua Bangsawan Bugis yang menjaga prestise untuk tidak mau diperintah oleh Bangsawan Bugis lainnya.

Maka terjadilah perang saudara antara Raja Sulaiman yang dibantu oleh Opu Lima bersaudara, melawan Raja Kecil yang juga didukung oleh Bangsawan Bugis lainnya, yakni : Daeng Matekko beserta pengikut-pengikutnya yang kebanyakan terdiri dari Pelaut Pelaut Bugis Wajo. Dikisahkan dalam Tuhfat An Nafis, bahwa pertempuran besar antara Raja Kecil dengan Opu Daeng Parani bersaudara dalam mempertahankan dan  memperebutkan Kerajaan Riau, terjadi sebanyak sepuluh kali. Sembilan kali diantaranya, pada pihak Raja Kecil dipimpin oleh Raja Alam (Putera Raja Kecil) dan satu kali dipimpin Raja Ismail (cucu Raja Kecil) melawan Opu Daeng Kamboja di Tumasik (Singapura). Akhirnya pada tahun 1721, Opu Daeng Parani bersaudara memenangkan perang yang dahsyat itu dengan mengusir Raja Kecil dan sekutunya meninggalkan negeri-negeri yang didudukinya. Maka dikukuhkanlah kembali Raja Sulaiman dalam gelarnya : Sultan Sulaiman Badrul'alam Syah (1721-1754).

Setelah memenangkan perang serta berhasil mendudukkan kembali Raja Sulaiman pada tahtanya, Opu Daeng Parani bersaudara memohon pamit. Namun Sultan Sulaiman khawatir jika sewaktu-waktu Raja Kecil yang kini mendirikan Kerajaan Buantan (kini Kerajaan Siak Sri Indrapura) dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748) kembali lagi menyerang Riau. Maka dikukuhkanlah Opu Daeng MarEwa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (1721-1729), bergelar : Kelana Jaya Putera. Yang Dipertuan Muda adalah sebuah jabatan yang setingkat dengan Perdana Menteri berkuasa penuh, dimana segala wewenang dan  urusan pemerintahan berada dalam kekuasaannya.

Adapun halnya dengan saudara-saudara Opu Daeng MarEwa yang lain, mereka bertebaran di seantero Tanah Melayu dengan mendapatkan kemuliaan sebagaimana kejayaan leluhurnya di Tanah Bugis. Opu Daeng Parani menikahi puteri Raja Selangor. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik Raja Kedah. Dengan demikian, Opu Daeng Parani adalah menantu Raja Selangor dan juga adik ipar Raja Kedah. Kemudian di Kalimantan Barat, Opu Daeng Manambung dinobatkan menjadi Sultan Mempawah  yang bergelar : Pangeran Emas Surya Negara. Beliau inilah yang bermenantukan Syarif Abdurrahman (keturunan Said Al Qadri Jamalullail) yang mendirikan Kerajaan Pontianak dan dinobatkan sebagai Sultan Pontianak I. Opu lainnya adalah Opu Daeng Cella', beliau adalah Yang Dipertuan Muda Riau II (1729-1746) bergelar : Sultan Alauddin Syah. Beliau menggantikan kakaknya (Opu Daeng Marewa) yang berpulang kerahmatullah dalam tahun 1729 M. Kemudian putera Opu Daeng Ri LEkke' yang bungsu, yakni Opu Daeng KamasE dinobatkan menjadi Raja Sambas (Kalimantan Barat) bergelar : Pangeran Mangkubumi.

Dari seluruh kisah perantauan putera Bugis Makassar dari masa ke masa, maka menurut penulis bahwa Tokoh Besar Opu Daeng ri Lekke' dan kelima puteranya adalah peringkat pertama sebagai perantau paling sukses. Ketokohan Opu Daeng ri LEkke' dalam kurun waktu tertentu telah menempatkan diri sebagai puncak piramida tertinggi dalam silsilah (Royal Families Tree) Kerajaan Melayu dan Kalimantan. Kiprahnya melalui daya juang yang penuh keberanian dan diimbangi oleh strategi yang briliant membuahkan tulisan sejarah bertinta emas hingga akhir zaman.

Wallahualam Bissawwab..

(bersambung ke Bagian 2..)

5 komentar:

  1. salam andi...
    saya bugis dari sabah, malaysia..

    mohon izin pinjam artikelnya untuk dimuatkan dalam blog saya. blog saya ini tujuannya mengumpulkan segala maklumat bugis untuk tatapan bugis2 dari malaysia dan juga dunia amnya.

    BalasHapus
  2. Wa Alaikum salam...
    Terima kasih atas perhatiaanya...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Salam Andi Oddang,

    Iya memang kenapa ya kelompok Bugis Luwu vs. kelompok Bugis Wajo dulu itu bersaing terus ya? Geng Opu 5 bersaudara bertentangan terus dengan geng Wajo (La Maddukelleng, Daeng Matekko, Daeng Maruppa). Kalbar, Semenanjung Malaya dan Riau jadi hegemoni Opu 5, sedangkan Kalsel, Kaltim, Siak dan Bengkulu jadi hegemoni geng Wajo.

    BalasHapus
  5. Salam Andi Oddang
    Saya Abd Hafid Daeng Tarang bin daeng Manambung asal Kab.Gowa berdomisili di kota Batam.
    Tolong jelaskan tentang penamaan Daeng pd pejuang asal Luwu dn Wajo yg ada di postingan..spy dp menambah ilmu kami. Terima kasih.

    BalasHapus